Bandung, 25–27 September 2025 — Di tengah upaya memperkuat pelayanan pastoral yang berkelanjutan, Keuskupan Bandung melangkah maju dengan menggali pendekatan baru yang menekankan pada kekuatan komunitas dampingan. Selama tiga hari, di Bumi Silih Asih, para Ketua dan Staf Dewan Karya Pastoral (DKP) bersama biro-biro pendukung mengikuti lokakarya “Pengenalan Metode Asset-Based Community Development (ABCD)” yang difasilitasi oleh Caritas Indonesia.
Kegiatan ini menjadi bagian dari komitmen Keuskupan Bandung untuk menerjemahkan arah Musyawarah Pastoral (MusPas) ke dalam gerakan konkret yang berakar pada potensi lokal dan partisipasi aktif komunitas dampingan. Pendekatan ABCD dipandang sebagai strategi yang menuntun pelayan pastoral untuk melihat “gelas setengah penuh” — mengapresiasi apa yang sudah ada, dan tidak berfokus pada masalah.
Mengubah Cara Pandang: Dari Kekurangan ke Kekuatan
Hari pertama dibuka dengan refleksi dari Romo Fredy Rante Taruk, Pr, Direktur Caritas Indonesia, yang mengajak peserta untuk mengenali nilai dari Appreciative Inquiry — seni menemukan hal-hal positif yang telah hidup dalam komunitas. Melalui pendekatan ini, peserta diajak melihat setiap pribadi, kelompok, dan struktur pastoral sebagai aset yang berharga dalam membangun Gereja.
Hari berikutnya, tim fasilitator dari Caritas Indonesia — Ozagma Lorenzo dan Deivilanty Riandira — membawa peserta lebih dalam pada proses ABCD. Tayangan film inspiratif Panyee Football Club membuka kesadaran bersama: bahwa perubahan besar dapat lahir dari keterbatasan, ketika komunitas percaya pada kekuatan yang mereka miliki.
Dalam diskusi kelompok, peserta mulai memetakan aset manusia, asosiasi, dan institusi dalam bidang Liturgia, Koinonia, dan Diakonia. Hasilnya menampakkan betapa setiap bidang saling melengkapi, membentuk jejaring kekuatan yang jika dikelola bersama, dapat menjadi fondasi bagi pelayanan pastoral yang hidup dan berdampak.
Belajar Bersama: Dari Pemetaan Aset hingga menerjemahkan Mimpi menjadi rancangan program yang nyata
Pada hari terakhir, peserta meluaskan pemetaan hingga aset fisik, budaya, dan keuangan. Diskusi menjadi ruang refleksi bersama: siapa sebenarnya komunitas yang kami layani? Pertanyaan ini menggugah kesadaran bahwa sebelum merancang program, Gereja perlu terlebih dahulu memahami siapa umatnya — dan apa kekuatan mereka.
Proses dilanjutkan dengan “memetakan mimpi”: merancang cita-cita yang ingin dicapai dari aset yang telah dikenali. Peserta diminta membayangkan buah yang mudah diraih — langkah-langkah kecil yang bisa segera diwujudkan — sembari menjaga pandangan jauh ke depan.
Sesi terakhir menuntun peserta pada tahap Design dan Define, di mana mereka belajar menerjemahkan aset dan mimpi menjadi rancangan program yang partisipatif dan terukur. Fasilitator memperkenalkan matrix evidence-based untuk memastikan setiap kegiatan berangkat dari kekuatan nyata komunitas, bukan asumsi kebutuhan semata.
Dari Refleksi Menuju Aksi
Lokakarya ini ditutup dengan testimoni yang penuh semangat. Perwakilan Litbang Keuskupan Bandung menyampaikan bahwa metode ABCD membuka cara pandang baru tentang bagaimana Gereja bisa tumbuh dari kekuatan dan berharap frekuensi serupa muncul diantara pemangku kepentingan di Keuskupan Bandung. RD. Agustinus Darwanto berharap semangat ini dapat menginspirasi setiap bidang pastoral untuk terus belajar dan bekerja bersama. Sementara Bapak Yogi, mewakili Vikjen Keuskupan Bandung, menegaskan bahwa proses ini tidak berhenti di pelatihan: “Kami akan menindaklanjutinya. Tanggal 12–13 Oktober nanti, Dewan Karya Pastoral akan berkumpul kembali untuk mengompilasi hasil pemetaan aset dan menyusun rencana strategis bersama.”
Dari proses ini, ada dua pembelajaran besar: pertama, pentingnya kejelasan tentang komunitas yang dilayani — karena tanpa itu, pemetaan aset tidak akan tepat sasaran. Kedua, setiap bidang memiliki kekuatan unik yang jika disatukan, menjadi daya besar bagi pelayanan pastoral.
Melalui pendekatan ABCD, lintas bidang di Keuskupan belajar bahwa pemberdayaan tidak berfokus dari masalah yang terjadi di masyarakat, melainkan bisa memanfaatkan dari apa yang sudah ada — dari kekuatan, relasi, dan iman umat sendiri. Inilah langkah kecil menuju perubahan besar: Gereja yang bertumbuh dari dalam, bersama umatnya.
Salam Belarasa